Entri Populer

Sabtu, 26 Maret 2011

Potret Buram Otonomi Pendidikan di Lamongan


Oleh : Adi Faridh*
Adi Faridh


Otonomi daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001 dengan berlandaskan pada UU No. 22/1999 dan revisinya UU No. 32/2004 menuntut setiap pemerintah daerah mengelola potensi wilayah demi kemakmuran rakyatnya. Salah satu syarat agar pemerintah daerah mampu mengaktualisasikan segenap potensinya agar menjadi kekuatan pembangunan yang riil adalah komitmen birokrasi daerah untuk melakukan investasi di bidang pendidikan.
Pendidikan dalam konsep human investment harus diyakini sebagai jembatan emas menuju perbaikan harkat hidup untuk mengentas ketertinggalan meraih keunggulan komparatif yang kompetitif. Maka sejak tujuh tahun lalu pengelolaan pendidikan tidak lagi sentralistik. Segala piranti penting telah diserahkan kepada daerah untuk mengelolanya.
Pada awal pemberlakuan otonomi pendidikan, banyak daerah yang pesimistis meskipun ada juga yang optimis. Bagi daerah yang pesimis dilatarbelakangi oleh minimnya Dana Alokasi Umum (DAU) dibandingkan dengan kebutuhan daerah untuk menggaji guru dan pegawai negeri yang sudah di daerahkan. Sebaliknya, bagi daerah yang optimis dengan antusias mereka membuat rancangan anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan.
Kebijakan otonomi pendidikan diharapkan akan membuka kesadaran pemerintah daerah terhadap persoalan kelangsungan dan perbaikan mutu pendidikan secara umum. Sehingga programnya berwujud pemerataan dan perluasan akses, peningkatan mutu dan daya saing, serta akuntabilitas pengelolaan lembaga pendidikan.
Kebijakan ini telah mengilhami beberapa daerah untuk memajukan pendidikannya. Sebut misalnya Kabupaten Bantul di DIY, Kabupaten Jembrana di Bali, Kabupaten Tanah Datar di Sumbar, atau Kota Tarakan di Kalimantan Timur. Daerah ini menjadi pioner dengan berkomitmen bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi pembangunan daerah ke depan yang diimplementasikan dengan pendidikan murah dan berkualitas.
Prestasi pendidikan yang diraih Kabupaten Jembrana khususnya sangat fenomenal dan patut dijadikan teladan atau minimal cermin bagi daerah lainnya. Pasalnya, kabupaten yang masuk kategori miskin ini telah mampu mewujudkan impian pendidikan gratis dari tingkat SD hingga SMA.
Secara geografis Jembrana terletak di pantai barat Bali dengan perbendaharaan lokasi wisata yang sangat minim menempatkan Jembrana sebagai salah satu kabupaten miskin. Indikator kemiskinan Jembrana terbaca dari APBDnya yang hanya sebesar Rp. 232 miliar. Bandingkan dengan APBD 2007 Lamongan yang mencapai Rp. 732,5 miliar.
Dengan anggaran yang minim tersebut Kabupaten Jembrana mampu menjabarkan program pendidikan berupa pembebasan biaya pendidikan SD sampai SMA, bea siswa untuk guru guna melanjutkan pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru melalui penambahan insentif, dan penyelenggaraan sekolah kajian.
Fenomena Jembrana memberi pelajaran berharga bagi daerah lainnya tentang bagaimana membuktikan secara nyata komitmen terhadap pendidikan dan kerakyatan di era otonomi daerah. Petuah tokoh peraih Nobel Amartya Seen bahwa pendidikan adalah steeping stones mengentas kemiskinan tidak hanya retorika belaka tetapi mengilhami kreativitas dan kebijakan visioner yang pro rakyat.
Lantas bagaimana dengan Kabupaten Lamongan? Memotret otonomi pendidikan di Lamongan menggunakan lensa anggaran tampaknya jauh panggang dari api untuk mencapai taraf ideal. Apabila diamanatkan oleh konstitusi bahwa setiap daerah wajib menganggarkan minimal 20% untuk pendidikan, hasil analisis Madekhan Ali dari LSM PRAKARSA menyebutkan bahwa jika dihitung dari total anggaran APBD 2007 sebesar Rp. 732,5 miliar maka anggaran pendidikan hanya dijatah 7,23% saja atau Rp. 52,9 miliar yang ternikmati langsung oleh masyarakat.
Jatah itupun masih mendapat pengurangan lagi atas biaya belanja barang atau jasa Rp. 47,7 miliar (81%), biaya pegawai Rp. 3,7 miliar (6%) dan biaya modal Rp. 7,5 miliar (13%). Secara keseluruhan, praktis tersisa Rp. 2,49 Miliar (4%) saja untuk akses siswa dan masyarakat. Bandingkan dengan kucuran dana untuk Persela sebesar Rp. 8,9 miliar tahun 2006 lalu dan sekarang konon naik menjadi Rp. 13 miliar. Jauh dari nalar dan jelas-jelas mengingkari amanat konstitusi karena sama sekali tidak ada rumusan kebijakan yang mengarah pada komitmen pendidikan.
Lepas dari variabel anggaran dan beralih ke filosofi pendidikan, sebenarnya para pemikir dan pengambil kebijakan pendidikan telah sepakat menuju kearah kesamaan paham bahwa perlu pengembangan paradigma baru pendidikan. Lepas dari kungkungan dan kejumudan pendidikan karena penerapan sistem yang sentralistik. Maka urgensi mendesak diterapkan otonomi pendidikan adalah jawaban atas ketertindasan pendidikan dari kerangka politik untuk menyeragamkan pola pikir, sikap dan cara bertindak siswa yang tercermin dari penyeragaman pakaian sekolah dan kurikulum yang kaku.
Dalam otonomi pendidikan, sebenarnya terbuka peluang yang cukup besar untuk mewujudkan pendidikan di daerah agar lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena kepala daerah saat ini memiliki kewenangan penuh berupa political will yang kuat dalam menentukan kualitas sekolah di daerahnya. Baik melalui sistem rekruitmen guru, seleksi siswa, pembinaan profesionalisme guru, penjaringan kepala sekolah, penentuan sistem evaluasi, dan elemen lainnya.
Pada fase ini, hitam putihnya kualitas pendidikan sangat tergantung dari cetak biru birokrat pendidikan di daerah. Apabila mereka mampu membuat grand design dan merumuskan misi yang visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan masyarakat.
Sebaliknya, manakala birokrat daerah memandang sebelah mata pada pendidikan sehingga tidak ada implementasi visi dan misi yang jelas maka praksis pendidikan akan berjalan tidak profesional. Akibatnya sekolah akan dikelola secara tidak efektif. Ketidakefektifan pengelolaaan sekolah itu akan terbaca dari maraknya gugatan masyarakat akan mahalnya biaya pendidikan.
Contoh faktual yang dapat dikedepankan adalah pandangan kritis menyangkut maraknya pungutan yang dilakukan sekolah pasca penerimaan siswa baru (Radar Bojonegoro 2/8/2007). Praktik pungutan terhadap siswa terjadi di hampir semua sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA.
Bahkan sekolah yang dinilai favorit, pungutannya justru lebih besar. Banyak wali murid mengeluhkan mahalnya seragam sekolah dan aneka pungutan lainnya. Seragam yang wajib dibeli siswa dari koperasi sekolah harganya jauh dari harga pasar. Selain itu, siswa juga diwajibkan membeli buku paket dan LKS yang diterbitkan secara manpulatif oleh MGMP dengan harga jauh lebih mahal dibanding dari penerbit atau percetakan umum.

Biasanya, respon birokrasi pendidikan daerah terhadap sorotan wakil rakyat yang aspiratif ini akan menyandarkan pada otonomi sekolah sebagai dalih pembenar mahalnya pungutan sekolah. Hal ini terbaca dari penjelasan Kasubdin Dikmenumjur P dan K Lamongan, dengan alasan menerapkan program sekolah berstandar nasional atau internasional maka lumrah apabila butuh biaya cukup besar. Terkait otonomi sekolah, birokrat pendidikan itu mengapresiasi bahwa setiap sekolah bisa membuat kebijakan sendiri asal mendapat persetujuan dari komite sekolah.
Pemahaman tentang otonomi pendidikan dan otonomi sekolah seperti di atas, adalah pemahaman secara sempit dan sekedar sebuah kesewenangan menarik dana dari masyarakat yang pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri. Seharusnya, otonomi pendidikan tidak sekedar dipahami dari kacamata ekonomi yang menjadikan wali murid dalam relasinya dengan sekolah sebagai obyek penarikan dana.
Tiba saatnya kesewenangan sekolah menarik dana pendidikan dari masyarakat yang sudah pada taraf mengkhawatirkan ini dihentikan. Tegakkan mekanisme audit dan ketatkan pengawasan dengan melibatkan lembaga independen. Otonomi pendidikan janganlah ditelikung sebagai otonomi pungutan pendidikan karena akan melahirkan elitisme sekolah. Cerita tentang arogansi pendidikan sudah saatnya diakhiri episodenya. Jangan biarkan pendidikan tersendat-sendat!

*Penulis adalah Staf Ahli LSM PRAKARSA berkantor di Graha Indah Blok B No. 14 Lamongan

Tidak ada komentar: