Entri Populer

Sabtu, 26 Maret 2011

Gurita Profitopolis Mengancam Lamongan

Oleh : Adi Faridh*)

Metamorfosis pembangunan Lamongan di era otonomi daerah mengalami percepatan yang luar biasa. Kewenangan luas untuk mengelola pembangunan daerah ditindaklanjuti dengan kemauan politik dan kemampuan manajerial pimpinan daerah. Implementasi Otoda telah memberi warna baru bagi penyelenggaraan pembangunan sehingga wajah Kabupaten Lamongan kini terlihat menawan seiring pesatnya pembangunan infrastruktur. Mulai dari jalan raya, pusat perdagangan, kawasan pariwisata hingga pelabuhan.
Bahkan dalam iklan di berbagai media, Pemkab Lamongan berani sesumbar bahwa Lamongan yang dulunya terbelakang kini mulai menjadi daerah yang prospektif. Letak geografis Lamongan yang strategis sebagai bagian dari pusat pertumbuhan di kawasan Gerbangkertosusila sangat potensial menjadi tempat alternatif untuk investasi. Bila selama ini kawasan yang diincar investor hanya wilayah Germosusi (Gresik, Mojokerto, Surabaya, dan Sidoarjo), sudah saatnya dengan infrastruktur pembangunan yang lengkap Lamongan dijadikan primadona.
Alhasil, praktik lurus desentralisasi ini menghadirkan kemajuan pesat dan inovatif yang menobatkan Lamongan sebagai juara di berbagai even penganugerahan best practices otoda oleh berbagai institusi. Prestasi yang patut diapresiasi sebagai bagian dari parameter dan instrumen memajukan daerah serta meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Capaian dan predikat best practices otoda memang bukan sesuatu yang berlebihan apabila menelisik secara seksama data dan fakta keberhasilan pembangunan Lamongan. Konon, sentuhan tangan dingin Masfuk (peraih people of the year dari salah satu media nasional) sebagai bupati selama dua periode mampu memoles Lamongan yang semula daerah miskin menjadi emas. Berbagai prestasi gemilang terukir mulai dari pertumbuhan ekonomi, pariwisata, perdagangan, investasi, pengurangan angka kemiskinan, hingga naiknya indeks pembangunan manusia. Termasuk juga sebagai penghasil beras terbesar di Jawa Timur dengan surplus 673 ribu ton.
Tetapi, deretan keberhasilan pembangunan tersebut jangan lantas disikapi dengan menepuk dada sebagai rasa bangga semata. Mewaspadai ekses negatif dari percepatan pembangunan ekonomi adalah upaya bijak agar tidak terperangkap pada klise klasik anak ayam mati di lumbung padi. Jangan sampai daerah yang surplus malah membuat sengsara rakyatnya. Berkaca pada pembangunan daerah-daerah lain di Indonesia, tren yang berkembang adalah pembangunan yang menggenjot aksi untung dari aspek perekonomian semata tetapi mengabaikan aspek lain yang seharusnya juga diperhatikan. Sosiokultural, ekologis, dan pedagogis adalah contoh aspek yang kerap alpa diprioritaskan. Percepatan pembangunan terkadang membawa dampak profitopolis.
Berbagai realitas empiris menunjukkan kecenderungan sebagian besar kebijakan pemerintah daerah hanya mengejar target menjadi profitopolis. Profitopolis yang diartikan sebagai kota berwawasan komersil adalah kebijakan pembangunan yang menempatkan ekploitasi ekonomi untuk melemahkan sektor kehidupan lainnya. Kota atau daerah yang berwawasan profit ini sedemikian komersilnya sehingga birokrat hanya sebagai penguasa di atas kertas. Sementara yang menjadi aktor penentu memainkan peran pembangunan adalah pihak pemodal yang diundang untuk menyulap kota dengan etalase dagangnya sebagai pemburu keuntungan.
Pada saat yang sama, kewajiban untuk menyejahterakan berbagai lapisan masyarakat diabaikan. Kemajuan kota semata-mata diabdikan demi kepentikan duli tuanku pemilik modal. Dampak seriusnya adalah pada kawasan ruang publik yang dialihfungsikan menjadi kawasan komersil atau pusat bisnis, sehingga rakyat pribumi cukup difungsikan sebagai penonton saja atau lebih naas lagi mereka dijadikan obyek perahan.
Secara umum dalam konteks luas, kenyataan yang menguatkan fakta profitopolis tergambar dari peremajaan kota-kota di Indonesia. Dasawarsa ini anatomi kota di Indonesia semakin berantakan dan kehilangan jati diri. Semarak arsitektur modern dengan gaya internasionalnya yang serba tunggal rupa, menyebabkan orang bergerak dari satu kota besar ke kota lainnya, tanpa merasa kalau ia sudah berpindah tempat. Dalam bukunya yang berjudul "Downtown Inc : How America Rebuild Cities" (1992), Frieden dan Sagalyn mengungkapkan tentang penyeragaman kota-kota akibat merebaknya shopping malls dan blok-blok permukiman yang nyaris tidak ada bedanya satu sama lain.
Fenomena ini menjadi indikator bahwa pembangunan kota telah banyak menyalahi prinsip dasar dalam peletakan bangunan maupun tata ruang. Kecenderungan ini terlihat dengan adanya pergeseran eksistensi ruang publik menjadi ruang kota yang kompleks. Perubahan secara radikal dan tidak terkendali terlihat dengan menjamurnya baliho iklan, hilangnya ruang terbuka hijau, dan berubahnya fungsi lahan menjadi pusat perbelanjaan.
Bagaimana dengan Lamongan? Ideologi profitopolis atau menempatkan kepentingan ekonomi dalam kerangka kebijakan pembangunan dirasakan mulai mengancam kehidupan di Kabupaten Lamongan. Beberapa indikasi untuk menguatkan dugaan ini antara lain:
Pertama, menyimak kondisi mutakhir di Lamongan, pesatnya kemajuan pembangunan diberbagai bidang usaha terutama sektor perdagangan merupakan pertanda bahwa memang telah terjadi penetrasi modal secara besar-besaran. Imbas dari kebijakan ekonomi yang digulirkan dalam menarik investasi terutama kalangan pemodal kuat di sektor perdagangan mulai terasa dengan makin banyaknya dibangun pusat perbelanjaan modern.
Berbagai fakta menguatkan kecenderungan ini, setidaknya sudah ada empat pusat belanja baru yang kebut tayang sebelum berakhirnya masa jabatan bupati. Dalam radius ratusan meter telah terbangun Ruko Permata, Ruko Kaliotik, dan Lamongan Trade Center, dan yang terbaru adalah Lamongan Plaza. Belum lagi pusat perbelanjaan yang sudah dibangun terdahulu. Sentra-sentra perbelanjaan bisa dipastikan akan terus menggurita seiring dianakemaskannya Lamongan Plaza oleh Pemkab dengan kucuran dana Rp. 52 milyar lebih.
Kedua, mengguritanya pemodal besar di bisnis eceran (ritel) juga dapat menggempur pelaku usaha di pasar tradisional. Ekspansi perusahaan waralaba ritel modern adalah ancaman serius bagi keberlangsungan pasar tradisional. Bagai cendawan di musim hujan, toko serba ada semacam Alfa dan Indomart merambah sampai wilayah kecamatan tanpa hadangan regulasi membuat termarginalnya kelompok usaha ekonomi produktif lapis menengah ke bawah. Ketidakmampuan bersaing dengan pemodal besar dalam waktu kedepan bisa di pastikan usaha ritel dan kelontong ini akan kolaps.
Sampai saat ini di Indonesia, gerai waralaba raksasa Alfa dan Indomart memiliki keleluasaan mengembangkan jaringannya sampai tingkat kecamatan. Dalam waktu dekat, penetrasi waralaba ini akan merambah pedesaan. Waralaba Indomart yang hanya berjumlah 704 gerai pada 2002 dalam jangka waktu empat tahun menggurita menjadi 1880 cabang. Alfamart yang semula 175 melonjak tajam dalam lima tahun menjadi 1918 unit.
Daya keruk keuntungannya pun luar biasa, dalam setahun bisnis minimarket ini mengantongi laba Rp 9,1 triliun. Praktis, tanpa perlawanan berarti dari warung kecil, toko kelontong, dan PKL milik para pemodal berkantong tipis akan segera bertumbangan. Perlu regulasi berupa peraturan daerah yang berpihak pada usaha mikro dan kecil untuk terhindar dari jerat gurita bisnis ritel modern.
Ketiga, sebagai kabupaten yang tidak diberkahi kekayaan sumber daya alam melimpah dan aset pemerintahan yang tidak banyak membantu perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka jalan pintasnya adalah menumpuk local revenue atau PAD dengan cara mengeksploitasi sektor ekonomi. Alternatif paling gampang adalah menggenjot sektor pajak dan retribusi yang bisa dipungut dari sektor perdagangan. Dengan dalih intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah dilakukan berbagai upaya perluasan basis pajak yang tentunya akan menambah beban masyarakat.
Secara kasat mata, ini dapat dibaca pada nota keuangan RAPBD Lamongan tahun anggaran 2010. Ketika target PAD secara keseluruhan mengalami penurunan sebesar 15,45 persen, hanya sektor pajak daerah yang mengalami kenaikan sebesar 6,67 persen. Penerimaan dari pajak daerah ditargetkan mencapai sebesar Rp. 16,2 miliar dari total PAD Rp. 94 miliar. Sedangkan retribusi juga menyumbang hampir Rp. 12 miliar untuk PAD.
Gurita profitopolis adalah ancaman serius bagi daerah yang sedang bersemangat membangun dan melakukan eksploitasi yang berlebihan. Jangan sampai jebakan ini mendorong Kabupaten Lamongan terperosok ke dalam jurang trade off economics. Suatu kondisi dimana libido penguasa menjadi tak terbendung untuk mengundang investor dengan harapan mendapat keuntungan. Padahal malah merugi karena kehilangan kesempatan memaksimalkan potensi lainnya. Perlu langkah antisipasi dan mawas diri oleh penentu kebijakan dalam mengantisipasi ancaman ini, serta sebuah pekerjaan rumah bagi para kandidat dalam Pemilukada Lamongan 2010 untuk dirumuskan menjadi visi dan misi lima tahun ke depan.
*) Penulis adalah Koordinator Advokasi Kebijakan Publik di PRAKARSA Lamongan


Potret Buram Otonomi Pendidikan di Lamongan


Oleh : Adi Faridh*
Adi Faridh


Otonomi daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001 dengan berlandaskan pada UU No. 22/1999 dan revisinya UU No. 32/2004 menuntut setiap pemerintah daerah mengelola potensi wilayah demi kemakmuran rakyatnya. Salah satu syarat agar pemerintah daerah mampu mengaktualisasikan segenap potensinya agar menjadi kekuatan pembangunan yang riil adalah komitmen birokrasi daerah untuk melakukan investasi di bidang pendidikan.
Pendidikan dalam konsep human investment harus diyakini sebagai jembatan emas menuju perbaikan harkat hidup untuk mengentas ketertinggalan meraih keunggulan komparatif yang kompetitif. Maka sejak tujuh tahun lalu pengelolaan pendidikan tidak lagi sentralistik. Segala piranti penting telah diserahkan kepada daerah untuk mengelolanya.
Pada awal pemberlakuan otonomi pendidikan, banyak daerah yang pesimistis meskipun ada juga yang optimis. Bagi daerah yang pesimis dilatarbelakangi oleh minimnya Dana Alokasi Umum (DAU) dibandingkan dengan kebutuhan daerah untuk menggaji guru dan pegawai negeri yang sudah di daerahkan. Sebaliknya, bagi daerah yang optimis dengan antusias mereka membuat rancangan anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan.
Kebijakan otonomi pendidikan diharapkan akan membuka kesadaran pemerintah daerah terhadap persoalan kelangsungan dan perbaikan mutu pendidikan secara umum. Sehingga programnya berwujud pemerataan dan perluasan akses, peningkatan mutu dan daya saing, serta akuntabilitas pengelolaan lembaga pendidikan.
Kebijakan ini telah mengilhami beberapa daerah untuk memajukan pendidikannya. Sebut misalnya Kabupaten Bantul di DIY, Kabupaten Jembrana di Bali, Kabupaten Tanah Datar di Sumbar, atau Kota Tarakan di Kalimantan Timur. Daerah ini menjadi pioner dengan berkomitmen bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi pembangunan daerah ke depan yang diimplementasikan dengan pendidikan murah dan berkualitas.
Prestasi pendidikan yang diraih Kabupaten Jembrana khususnya sangat fenomenal dan patut dijadikan teladan atau minimal cermin bagi daerah lainnya. Pasalnya, kabupaten yang masuk kategori miskin ini telah mampu mewujudkan impian pendidikan gratis dari tingkat SD hingga SMA.
Secara geografis Jembrana terletak di pantai barat Bali dengan perbendaharaan lokasi wisata yang sangat minim menempatkan Jembrana sebagai salah satu kabupaten miskin. Indikator kemiskinan Jembrana terbaca dari APBDnya yang hanya sebesar Rp. 232 miliar. Bandingkan dengan APBD 2007 Lamongan yang mencapai Rp. 732,5 miliar.
Dengan anggaran yang minim tersebut Kabupaten Jembrana mampu menjabarkan program pendidikan berupa pembebasan biaya pendidikan SD sampai SMA, bea siswa untuk guru guna melanjutkan pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru melalui penambahan insentif, dan penyelenggaraan sekolah kajian.
Fenomena Jembrana memberi pelajaran berharga bagi daerah lainnya tentang bagaimana membuktikan secara nyata komitmen terhadap pendidikan dan kerakyatan di era otonomi daerah. Petuah tokoh peraih Nobel Amartya Seen bahwa pendidikan adalah steeping stones mengentas kemiskinan tidak hanya retorika belaka tetapi mengilhami kreativitas dan kebijakan visioner yang pro rakyat.
Lantas bagaimana dengan Kabupaten Lamongan? Memotret otonomi pendidikan di Lamongan menggunakan lensa anggaran tampaknya jauh panggang dari api untuk mencapai taraf ideal. Apabila diamanatkan oleh konstitusi bahwa setiap daerah wajib menganggarkan minimal 20% untuk pendidikan, hasil analisis Madekhan Ali dari LSM PRAKARSA menyebutkan bahwa jika dihitung dari total anggaran APBD 2007 sebesar Rp. 732,5 miliar maka anggaran pendidikan hanya dijatah 7,23% saja atau Rp. 52,9 miliar yang ternikmati langsung oleh masyarakat.
Jatah itupun masih mendapat pengurangan lagi atas biaya belanja barang atau jasa Rp. 47,7 miliar (81%), biaya pegawai Rp. 3,7 miliar (6%) dan biaya modal Rp. 7,5 miliar (13%). Secara keseluruhan, praktis tersisa Rp. 2,49 Miliar (4%) saja untuk akses siswa dan masyarakat. Bandingkan dengan kucuran dana untuk Persela sebesar Rp. 8,9 miliar tahun 2006 lalu dan sekarang konon naik menjadi Rp. 13 miliar. Jauh dari nalar dan jelas-jelas mengingkari amanat konstitusi karena sama sekali tidak ada rumusan kebijakan yang mengarah pada komitmen pendidikan.
Lepas dari variabel anggaran dan beralih ke filosofi pendidikan, sebenarnya para pemikir dan pengambil kebijakan pendidikan telah sepakat menuju kearah kesamaan paham bahwa perlu pengembangan paradigma baru pendidikan. Lepas dari kungkungan dan kejumudan pendidikan karena penerapan sistem yang sentralistik. Maka urgensi mendesak diterapkan otonomi pendidikan adalah jawaban atas ketertindasan pendidikan dari kerangka politik untuk menyeragamkan pola pikir, sikap dan cara bertindak siswa yang tercermin dari penyeragaman pakaian sekolah dan kurikulum yang kaku.
Dalam otonomi pendidikan, sebenarnya terbuka peluang yang cukup besar untuk mewujudkan pendidikan di daerah agar lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena kepala daerah saat ini memiliki kewenangan penuh berupa political will yang kuat dalam menentukan kualitas sekolah di daerahnya. Baik melalui sistem rekruitmen guru, seleksi siswa, pembinaan profesionalisme guru, penjaringan kepala sekolah, penentuan sistem evaluasi, dan elemen lainnya.
Pada fase ini, hitam putihnya kualitas pendidikan sangat tergantung dari cetak biru birokrat pendidikan di daerah. Apabila mereka mampu membuat grand design dan merumuskan misi yang visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan masyarakat.
Sebaliknya, manakala birokrat daerah memandang sebelah mata pada pendidikan sehingga tidak ada implementasi visi dan misi yang jelas maka praksis pendidikan akan berjalan tidak profesional. Akibatnya sekolah akan dikelola secara tidak efektif. Ketidakefektifan pengelolaaan sekolah itu akan terbaca dari maraknya gugatan masyarakat akan mahalnya biaya pendidikan.
Contoh faktual yang dapat dikedepankan adalah pandangan kritis menyangkut maraknya pungutan yang dilakukan sekolah pasca penerimaan siswa baru (Radar Bojonegoro 2/8/2007). Praktik pungutan terhadap siswa terjadi di hampir semua sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA.
Bahkan sekolah yang dinilai favorit, pungutannya justru lebih besar. Banyak wali murid mengeluhkan mahalnya seragam sekolah dan aneka pungutan lainnya. Seragam yang wajib dibeli siswa dari koperasi sekolah harganya jauh dari harga pasar. Selain itu, siswa juga diwajibkan membeli buku paket dan LKS yang diterbitkan secara manpulatif oleh MGMP dengan harga jauh lebih mahal dibanding dari penerbit atau percetakan umum.

Biasanya, respon birokrasi pendidikan daerah terhadap sorotan wakil rakyat yang aspiratif ini akan menyandarkan pada otonomi sekolah sebagai dalih pembenar mahalnya pungutan sekolah. Hal ini terbaca dari penjelasan Kasubdin Dikmenumjur P dan K Lamongan, dengan alasan menerapkan program sekolah berstandar nasional atau internasional maka lumrah apabila butuh biaya cukup besar. Terkait otonomi sekolah, birokrat pendidikan itu mengapresiasi bahwa setiap sekolah bisa membuat kebijakan sendiri asal mendapat persetujuan dari komite sekolah.
Pemahaman tentang otonomi pendidikan dan otonomi sekolah seperti di atas, adalah pemahaman secara sempit dan sekedar sebuah kesewenangan menarik dana dari masyarakat yang pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri. Seharusnya, otonomi pendidikan tidak sekedar dipahami dari kacamata ekonomi yang menjadikan wali murid dalam relasinya dengan sekolah sebagai obyek penarikan dana.
Tiba saatnya kesewenangan sekolah menarik dana pendidikan dari masyarakat yang sudah pada taraf mengkhawatirkan ini dihentikan. Tegakkan mekanisme audit dan ketatkan pengawasan dengan melibatkan lembaga independen. Otonomi pendidikan janganlah ditelikung sebagai otonomi pungutan pendidikan karena akan melahirkan elitisme sekolah. Cerita tentang arogansi pendidikan sudah saatnya diakhiri episodenya. Jangan biarkan pendidikan tersendat-sendat!

*Penulis adalah Staf Ahli LSM PRAKARSA berkantor di Graha Indah Blok B No. 14 Lamongan

Kamis, 24 Maret 2011

Mendidik Masyarakat Siaga Bencana


Oleh: Adi Faridh, M.Pd*)

Bencana alam yang terus mengancam semakin terasa akrab menelikung tiap jengkal wilayah Indonesia. Sejak gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 yang merenggut 130 ribu korban jiwa, disusul gempa Yogyakarta dan tsunami di Pangandaran Jawa Barat, potensi ancaman tumbukan kulit bumi, baik jumlah maupun kualitasnya terus meningkat.
Rentetan kejadian ini tidak terlepas dari kondisi geologi dan geomorfologi Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi karena terapung di atas benua yang menari. Letak geografis yang dikodratkan berada di cincin api pasifik dan dikepung oleh Lempeng Eurasia serta Lempeng Indo-Australia yang bergerak aktif menyebabkan 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana. Ditambah lagi 98 persen dari 220 juta jiwa penduduk berada dalam taraf tidak siap menghadapi bencana.
Telah terbukti, ketidaksiapan menghadapi bencana ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda yang sangat besar setiap kali terjadi bencana. Gempa terakhir yang memporak porandakan Padang Sumatera Barat pada Rabu sore 30 September lalu juga mencatatkan jumlah korban yang terus bertambah. Kekuatan gempa 7,6 skala Richter ini, menurut data yang dirilis Satkorlak dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merenggut 784 korban jiwa serta 242 orang dinyatakan hilang.
Di tengah kepanikan dan krisis akibat gempa di Padang datang juga rentetan guncangan yang lain, yaitu isu seputar gempa. Kabar akan adanya gempa di berbagai tempat di wilayah Jawa Timur tersebar begitu cepat. Dalam tempo singkat akumulasi isu ini termakan juga oleh segenap lapisan masyarakat. Di Sidoarjo beberapa sekolah terpaksa memulangkan siswanya lebih awal begitu tersiar kabar akan terjadi gempa dengan kekuatan 8,8 skala Richter. Di Malang, Kediri, dan Banyuwangi juga dilingkupi kecemasan (Jawa Pos 9/10). Bahkan di Bojonegoro, wilayah yang tidak tercantum dalam daerah rawan gempa sekalipun masyarakatnya tidur di luar rumah gara-gara termakan isu takut adanya gempa bumi (Radar Bojonegoro,8/10).
Meredam Isu Gempa di Jawa Timur
Sebagai sebuah kewaspadaan isu seputar gempa memang wajar keberadaannya disikapi sebagai upaya kesiapsiagaan. Tetapi akan menjadi tidak wajar apabila masyarakat dengan mudahnya ikut hanyut dalam keterpengaruhan yang membabi buta. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah berinisiatif memberikan pemahaman dan sosialisasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Langkah awalnya adalah mengenalkan kepada masyarakat melalui instansi terkait tentang definisi gempa dan deskripsi peta wilayah rawan gempa.
Dalam lingkup lokal Jawa Timur masyarakat juga memerlukan pemahaman akankah di wilayahnya juga akan dilanda gempa? Bila memang gempa akan merembet ke Jawa Timur, kapan gempa itu akan terjadi?
Berdasarkan analisis data Badan Meteorologi dan Geofisika, Provinsi Jawa Timur memiliki sekurangnya delapan daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Daerah itu meliputi Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Daerah ini notabene sebagai wilayah sepanjang pantai selatan Jawa Timur yang merupakan rangkaian dari zone subduksi. Zone subduksi adalah daerah pertemuan tabrakan antar lempeng yaitu antara Lempeng Indo-Australia yang bergerak 12 cm per tahun menyusup ke arah utara dan Lempeng Eurasia yang juga bergerak ke selatan menantang Indo-Australia.
Daerah pertemuan antar lempeng inilah yang dikenal rawan berpotensi gempa dan tsunami. Yang menjadi permasalahan utamanya adalah sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat memprediksi kapan akan terjadi gempa bumi apalagi sampai menentukan hari H nya. Dengan bekal lmu pengetahuan tentang gempa bumi ini, jelas bahwa tidak perlu dipercayai munculnya isu gempa dan tsunami akan terjadi pada hari dan waktu tertentu. Karenanya, mendidik masyarakat untuk siaga bencana adalah langkah yang tidak bisa ditawar lagi. Baik itu siaga dalam tahap prabencana, pada saat tanggap darurat dan pascabencana.



Kurikulum Bencana di Sekolah
Sebagai wilayah yang rawan bencana alam kebumian, sudah seharusnya bila Indonesia memiliki manajemen mitigasi bencana alam yang andal dan terpadu. Hal ini sangat berpengaruh dalam upaya memperkecil dampak bencana yang dapat ditimbulkan. Program mitigasi yang terpadu meliputi pengembangan sistem pemantauan, pengembangan sistem peringatan dini (early warning system), pembuatan peta-peta informasi bencana, public education, dan adanya undang-undang yang menyangkut perencanaan wilayah.
Dalam wacana ilmu Dissaster Preparedness atau Manajemen Bencana Alam sudah semestinya masyarakat kita dibekali dengan pengetahuan tentang bahaya-bahaya bencana alam. Prosedur operasional standar (SOP) bagi setiap masyarakat saat menghadapi gempa diperkenalkan di sekolah-sekolah maupun komunitas yang lebih luas. Pola penanganan bencana alam dapat juga dilakukan dengan memberikan pendidikan atau simulasi mitigasi pada masyarakat yang berada di daerah rawan bencana. Selanjutnya diwujudkan upaya mitigasi secara terstruktur dan matang dengan dukungan pemanfaatan iptek dan political will dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
Wacana yang berkembang adalah memasukkan materi gempa dan bencana alam lainnya dalam kurikulum sekolah. Upaya ini diyakini efektif mengingat fungsi dan peran sekolah yang tidak hanya sebagai transfer pengetahuan tetapi juga internalisasi nilai. Apalagi upaya ini dijamin oleh UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menggagas sistem penanggulangan bencana yang sistematis dan terstruktur. Pada momentum inilah mendesakkan materi bencana dimasukkan dalam kurikulum sekolah menjadi urgen.
Dengan memasukkan pengetahuan tentang bencana ke dalam kurikulum sekolah yang didukung pula dengan simulasi menghadapi bencana merupakan upaya preventif yang didesain sejak dini. Ikhtiar ini diyakini kelak akan melahirkan generasi yang sadar akan risiko bencana. Kurikulum bencana di sekolah adalah investasi jangka panjang yang akan melahirkan pemikir dan pembuat kebijakan masa depan yang adaptif terhadap bencana dengan meminimalkan dampak destruktifnya.
Inspirasi Angel of Beach
Seharusnya pengambil kebijakan pendidikan terinspirasi tentang keberhasilan materi bencana masuk kurikulum sekolah melalui kisah nyata Angel of beach. Dikisahkan pada saat gempa dan tsunami Thailand, Pantai Phuket sedang dipenuhi wisatawan. Tiba-tiba seorang gadis kecil berumur 10 tahun bernama Tilly Smith mengatakan kepada ayahnya bahwa sebentar lagi akan terjadi tsunami berdasarkan gejala yang dilihatnya di kejauhan lautan. Rupanya siswi SD asal Inggris itu mengingat betul materi pelajaran geografi tentang lempeng tektonik dan gempa bawah laut yang diajarkan oleh Andrew F Kearney, guru geografinya. Begitu Ia melihat gejala tsunami berupa gelombang tinggi yang memutih dan air di pantai menjadi surut tiba-tiba, selanjutnya dalam hitungan 20 atau 30 menit pasti akan terjadi tsunami.
Oleh sang Ayah, apa yang dikatakan oleh Tilly itu disampaikan kepada penjaga pantai yang segera memberikan peringatan dini kepada para wisatawan untuk bergegas meninggalkan pantai. Apa yang dikatakan Tilly menjadi kenyataan, tsunami menghantam Pantai Phuket. Beruntung ratusan wisatawan telah dievakuasi sehingga korban jiwa terhindari. Angel of Beach adalah gelar yang disematkan kepada Tilly, siswi SD 10 tahun yang berhasil menginternalisasi pengetahuan yang didapat dari bangku sekolah. Sebuah pendekatan pembelajaran kontekstual yang menghadirkan pemahaman konsep akademik yang realistik dan bermakna.
Bandingkan dengan kisah nyata di negeri ini ketika gempa dan tsunami 26 Desember 2004 di Pantai Ulele Aceh. Pada saat gejala tsunami muncul berupa surutnya pantai, masyarakat bukannya berlari menyelamatkan diri, mereka malah berlomba-lomba menangkap ikan di sepanjang pantai yang surut. Ketidaktahuan masyarakat dan kelalaian Negara melaksanakan amanat melindungi warganya mengakibatkan jiwa mereka sia-sia tertelan gelombang pasang.
Inspirasi dua kisah nyata di atas seharusnya menyadarkan betapa sudah saatnya digagas dan dibangun sikap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana sebagai bagian dari memotong siklus bencana. Karena dari kesiapsiagaannya termasuk melalui penanaman sadar bencana melalui pelajaran di sekolah, dengan sendirinya masyarakat terbina dan akan membentuk masyarakat sadar bencana. Dengan terbangunnya masyarakat siaga bencana diharapkan jumlah korban dan kerugian sosial ekonomi akan semakin berkurang.

*) Penulis adalah Alumni Geografi UNM, Koordinator Advokasi Kebijakan di Prakarsa Nusantara Consultant Lamongan

Balung Kere Dilarang Sekolah

Oleh: Adi Faridh*)
Pendidikan dalam maknanya yang hakiki diyakini sebagai lkhtiar untuk mengentas rakyat dari perangkap kemiskinan. Karenanya, jalan utama yang ditempuh untuk mengurangi angka kemiskinan adalah dengan memperlancar akses pendidikan bagi rakyat miskin.
Sekalipun secara konseptual disebutkan oleh tokoh peraih Nobel Amartya Seen bahwa pendidikan adalah batu loncatan (steeping stones) untuk mengentas kemiskinan, tetapi dalam realitasnya pendidikan dan kemiskinan ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Teramat dekat tetapi keduanya tidak pernah saling bertegur sapa.
Dalam tradisi Jawa dikenal istilah balung kere, sebuah kalimat yang merujuk pada definisi jika terlanjur miskin maka dapat dipastikan akan sulit keluar dari jeratan kemiskinan yang akut kendati sudah ada usaha untuk memutus lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) dengan bersekolah. Bahkan melekat pada nasab balung kere ini kutukan kemiskinan dan keterbelakangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dan, konsepsi Amartya Seen akan menemukan negasinya apabila pada bulan Juli ini kita singgah ke Lamongan. Ketika musim berburu sekolah dimulai, dan mengenyam pendidikan di sekolah favorit menjadi incaran, nasib si balung kere yang berprestasi sekalipun menjadi terabaikan. Sistem persekolahan telah memaksa setiap siswa yang masuk di dalamnya untuk terjerat dalam suatu kompleksitas gurita bisnis pendidikan. Maka si balung kere pun dilarang sekolah karena ketiadaan biaya.
Label dagang pendidikan yang saat ini sedang laku keras sebagai alat reproduksi kesenjangan sosial antara si kaya dengan si balung kere adalah SBI. Program rintisan sekolah berstandar internasional yang memunculkan biaya sekolah tinggi dan praktik kapitalisasi pendidikan. Sehingga pendidikan yang sejatinya menjadi hak semua warga negara tanpa mengenal kelas, telah tergiring pada praktik jual beli bangku sekolah.
Program kelas rintisan sekolah berstandar internasional SMAN 1 Lamongan adalah salah satu contoh yang rawan memunculkan gurita bisnis dan biaya sekolah tinggi. Dilaporkan bahwa setiap calon siswa dikenakan tarikan minimal Rp 3 juta. Menurut seorang wali murid yang anaknya diterima di kelas RSBI tersebut, para orang tua diberi blanko kesanggupan untuk membayar uang sekolah yang sudah ditentukan nominal uangnya, yakni Rp 3 juta, Rp 4 juta, Rp 5 juta, dan seterusnya maksimal Rp 10 juta dengan dalih uang tersebut untuk merenovasi gedung dan pembelian berbagai perlengkapan.
Program RSBI di SMAN 2 Lamongan biayanya lebih mahal lagi, minimal Rp 4 juta dan tidak ada batas maksimal sehingga wali murid bisa membayar berapapun pokoknya di atas Rp 4 juta (Radar Bojonegoro, 4/7/2009).
Kapitalisasi Pendidikan
Permasalahan mendasar dari semua itu adalah terjadinya praktik kapitalisasi pendidikan. Dengan memakai logika siapa yang berduit akan mengenyam sekolah elite kaya fasilitas dan mereka yang miskin terpuruk dalam sekolah-sekolah yang mengenaskan. Sekolah pinggiran yang kerap diremehkan oleh banyak kalangan termasuk pemerintah yang abai mengucurkan dana bantuan. Pendidikan model beginian hanya akan melebarkan jurang pemisah antara mereka yang kaya dan yang miskin.
Kapitalisasi pendidikan menjadi sisi gelap dunia persekolahan. Nilai pendidikan dibenturkan pada kepentingan mengais rezeki dengan memperdagangkan bangku sekolah. Hal ini merupakan perilaku murahan yang mencederai etika pendidikan.
Terjadinya kapitalisasi pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah yang secara lambat laun mulai lepas tangan karena jaminan UU BHP. Sejatinya memang pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa sebagaimana dalam iklan sekolah gratis dan sekolah harus bisa. Maka apabila pemerintah mulai undur diri, beberapa lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri mulai memakai logika pasar dalam mengelola pendidikan.
Dalam konteks ini, benarkah siswa miskin masih diingat oleh pemerintah sebagai bagian dari warga negara yang mempunyai hak memperoleh pendidikan layak dan berkualitas (right for education)? Sungguh-sungguhkah pemerintah mewujudkan program penuntasan wajib belajar 12 tahun di Jawa Timur?
Sekedar pengingat, janji pemerintah tertuang dalam pasal 31 amandemen UUD 1945 Ayat (1) yang menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".
Komitmen pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003, antara lain disebutkan: Pertama, termuat dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kedua, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 Ayat (1)). Ketiga, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat (1)). Keempat, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat (1)). Dan, kelima, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat (2).
Tampaknya, janji pemerintah hendak memeratakan hak pendidikan, membebaskan biaya pendidikan bagi siswa miskin, atau memberi banyak kemudahan bagi siswa miskin dalam melanjutkan sekolahnya, tidak terwujud dalam realitas. Bahkan apa yang dijanjikan itu justru dijegal sendiri melalui kebijakan lain yang jauh dari watak humanistik atau memanusiakan siswa miskin.
Berlindung pada UU No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, Pemerintah dan/atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, maka RSBI dilegalkan. Parahnya, dengan fasilitas seadanya dan sumber daya manusia yang belum memenuhi kualifikasi, RSBI justru sulit meningkatkan mutu layanan pendidikannya. Yang terjadi adalah kekurangan fasilitas ini menjadi alasan bagi sekolah untuk mengeruk uang dari siswa.
SBI Pepesan Kosong
Menyikapi realitas itu, Menurut Nadlifah Hafidz (dalam Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI, 2009) komunitas miskin tidaklah selayaknya memaksakan memburu RSBI. Alasannya karena pertama, daripada mengeluarkan biaya yang tergolong sangat besar untuk ukuran orang miskin, lebih baik uang yang dimiliki digunakan untuk mendukung atau menopang kepentingan lainnya.
Realitas tersebut diperparah menurunnya anggaran untuk bantuan siswa miskin. Meski porsi anggaran pendidikan sudah 20 persen dari APBN, tidak otomatis mendongkrak bantuan untuk siswa miskin jenjang SMA. Sebaliknya, tahun ini, anggaran bagi siswa miskin justru anjlok. Subsidi pemerintah melalui bantuan khusus murid (BKM) turun menjadi Rp 194 miliar. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mengalokasikan dana rata-rata Rp 242 miliar.
Bandingkan dengan asupan biaya yang digelontorkan oleh pemerintah terhadap SBI sebagai proyek prestisius karena akan dibiayai dengan formulasi Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Membaca nota keuangan Rancangan perubahan terbaru APBD 2009 Kabupaten Lamongan terjadi perubahan kebijakan anggaran di bidang pendidikan untuk mengucurkan dana bagi penyelenggaraan SBI di SMAN 1 Lamongan.
Kedua, memaksakan anak masuk ke RSBI, bagi orang miskin, ibarat menciptakan dunia baru yang tentu saja berbeda dari dunia anak-anak dari kalangan miskin. Mereka bisa bertemu berbagai bentuk gaya, penampilan, atau pola hidup yang berkemasan menonjolkan selebritas kaum borjuis. Kondisi ini dapat menjadi siksaan atau pressure psikologis tersendiri.
Ketiga, RSBI merupakan produk sekolah bersifat eksperimen yang tentu saja tidak selayaknya orang miskin taklid terhadap apa yang dilakukan komunitas elite. Namanya juga produk coba-coba, kelayakan kualitas output-nya, khususnya proses pembelajarannya, mau ke mana dan dikemanakan lulusannya, masih menjadi tanda tanya besar.
Jangan-jangan SBI ini ibarat pepesan kosong yang hanya menjual asap tanpa isi, program latah tanpa asa. Atas dasar itu, si balung kere bertanya: ke mana arah pembangunan pendidikan Lamongan berkiblat? Tak bisakah pemerintah membuat kebijakan yang memang memperhatikan kepentingan pendidikan untuk semua?

*) Penulis adalah Koordinator Advokasi Pendidikan di Prakarsa Lamongan