Entri Populer

Sabtu, 26 Maret 2011

Gurita Profitopolis Mengancam Lamongan

Oleh : Adi Faridh*)

Metamorfosis pembangunan Lamongan di era otonomi daerah mengalami percepatan yang luar biasa. Kewenangan luas untuk mengelola pembangunan daerah ditindaklanjuti dengan kemauan politik dan kemampuan manajerial pimpinan daerah. Implementasi Otoda telah memberi warna baru bagi penyelenggaraan pembangunan sehingga wajah Kabupaten Lamongan kini terlihat menawan seiring pesatnya pembangunan infrastruktur. Mulai dari jalan raya, pusat perdagangan, kawasan pariwisata hingga pelabuhan.
Bahkan dalam iklan di berbagai media, Pemkab Lamongan berani sesumbar bahwa Lamongan yang dulunya terbelakang kini mulai menjadi daerah yang prospektif. Letak geografis Lamongan yang strategis sebagai bagian dari pusat pertumbuhan di kawasan Gerbangkertosusila sangat potensial menjadi tempat alternatif untuk investasi. Bila selama ini kawasan yang diincar investor hanya wilayah Germosusi (Gresik, Mojokerto, Surabaya, dan Sidoarjo), sudah saatnya dengan infrastruktur pembangunan yang lengkap Lamongan dijadikan primadona.
Alhasil, praktik lurus desentralisasi ini menghadirkan kemajuan pesat dan inovatif yang menobatkan Lamongan sebagai juara di berbagai even penganugerahan best practices otoda oleh berbagai institusi. Prestasi yang patut diapresiasi sebagai bagian dari parameter dan instrumen memajukan daerah serta meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Capaian dan predikat best practices otoda memang bukan sesuatu yang berlebihan apabila menelisik secara seksama data dan fakta keberhasilan pembangunan Lamongan. Konon, sentuhan tangan dingin Masfuk (peraih people of the year dari salah satu media nasional) sebagai bupati selama dua periode mampu memoles Lamongan yang semula daerah miskin menjadi emas. Berbagai prestasi gemilang terukir mulai dari pertumbuhan ekonomi, pariwisata, perdagangan, investasi, pengurangan angka kemiskinan, hingga naiknya indeks pembangunan manusia. Termasuk juga sebagai penghasil beras terbesar di Jawa Timur dengan surplus 673 ribu ton.
Tetapi, deretan keberhasilan pembangunan tersebut jangan lantas disikapi dengan menepuk dada sebagai rasa bangga semata. Mewaspadai ekses negatif dari percepatan pembangunan ekonomi adalah upaya bijak agar tidak terperangkap pada klise klasik anak ayam mati di lumbung padi. Jangan sampai daerah yang surplus malah membuat sengsara rakyatnya. Berkaca pada pembangunan daerah-daerah lain di Indonesia, tren yang berkembang adalah pembangunan yang menggenjot aksi untung dari aspek perekonomian semata tetapi mengabaikan aspek lain yang seharusnya juga diperhatikan. Sosiokultural, ekologis, dan pedagogis adalah contoh aspek yang kerap alpa diprioritaskan. Percepatan pembangunan terkadang membawa dampak profitopolis.
Berbagai realitas empiris menunjukkan kecenderungan sebagian besar kebijakan pemerintah daerah hanya mengejar target menjadi profitopolis. Profitopolis yang diartikan sebagai kota berwawasan komersil adalah kebijakan pembangunan yang menempatkan ekploitasi ekonomi untuk melemahkan sektor kehidupan lainnya. Kota atau daerah yang berwawasan profit ini sedemikian komersilnya sehingga birokrat hanya sebagai penguasa di atas kertas. Sementara yang menjadi aktor penentu memainkan peran pembangunan adalah pihak pemodal yang diundang untuk menyulap kota dengan etalase dagangnya sebagai pemburu keuntungan.
Pada saat yang sama, kewajiban untuk menyejahterakan berbagai lapisan masyarakat diabaikan. Kemajuan kota semata-mata diabdikan demi kepentikan duli tuanku pemilik modal. Dampak seriusnya adalah pada kawasan ruang publik yang dialihfungsikan menjadi kawasan komersil atau pusat bisnis, sehingga rakyat pribumi cukup difungsikan sebagai penonton saja atau lebih naas lagi mereka dijadikan obyek perahan.
Secara umum dalam konteks luas, kenyataan yang menguatkan fakta profitopolis tergambar dari peremajaan kota-kota di Indonesia. Dasawarsa ini anatomi kota di Indonesia semakin berantakan dan kehilangan jati diri. Semarak arsitektur modern dengan gaya internasionalnya yang serba tunggal rupa, menyebabkan orang bergerak dari satu kota besar ke kota lainnya, tanpa merasa kalau ia sudah berpindah tempat. Dalam bukunya yang berjudul "Downtown Inc : How America Rebuild Cities" (1992), Frieden dan Sagalyn mengungkapkan tentang penyeragaman kota-kota akibat merebaknya shopping malls dan blok-blok permukiman yang nyaris tidak ada bedanya satu sama lain.
Fenomena ini menjadi indikator bahwa pembangunan kota telah banyak menyalahi prinsip dasar dalam peletakan bangunan maupun tata ruang. Kecenderungan ini terlihat dengan adanya pergeseran eksistensi ruang publik menjadi ruang kota yang kompleks. Perubahan secara radikal dan tidak terkendali terlihat dengan menjamurnya baliho iklan, hilangnya ruang terbuka hijau, dan berubahnya fungsi lahan menjadi pusat perbelanjaan.
Bagaimana dengan Lamongan? Ideologi profitopolis atau menempatkan kepentingan ekonomi dalam kerangka kebijakan pembangunan dirasakan mulai mengancam kehidupan di Kabupaten Lamongan. Beberapa indikasi untuk menguatkan dugaan ini antara lain:
Pertama, menyimak kondisi mutakhir di Lamongan, pesatnya kemajuan pembangunan diberbagai bidang usaha terutama sektor perdagangan merupakan pertanda bahwa memang telah terjadi penetrasi modal secara besar-besaran. Imbas dari kebijakan ekonomi yang digulirkan dalam menarik investasi terutama kalangan pemodal kuat di sektor perdagangan mulai terasa dengan makin banyaknya dibangun pusat perbelanjaan modern.
Berbagai fakta menguatkan kecenderungan ini, setidaknya sudah ada empat pusat belanja baru yang kebut tayang sebelum berakhirnya masa jabatan bupati. Dalam radius ratusan meter telah terbangun Ruko Permata, Ruko Kaliotik, dan Lamongan Trade Center, dan yang terbaru adalah Lamongan Plaza. Belum lagi pusat perbelanjaan yang sudah dibangun terdahulu. Sentra-sentra perbelanjaan bisa dipastikan akan terus menggurita seiring dianakemaskannya Lamongan Plaza oleh Pemkab dengan kucuran dana Rp. 52 milyar lebih.
Kedua, mengguritanya pemodal besar di bisnis eceran (ritel) juga dapat menggempur pelaku usaha di pasar tradisional. Ekspansi perusahaan waralaba ritel modern adalah ancaman serius bagi keberlangsungan pasar tradisional. Bagai cendawan di musim hujan, toko serba ada semacam Alfa dan Indomart merambah sampai wilayah kecamatan tanpa hadangan regulasi membuat termarginalnya kelompok usaha ekonomi produktif lapis menengah ke bawah. Ketidakmampuan bersaing dengan pemodal besar dalam waktu kedepan bisa di pastikan usaha ritel dan kelontong ini akan kolaps.
Sampai saat ini di Indonesia, gerai waralaba raksasa Alfa dan Indomart memiliki keleluasaan mengembangkan jaringannya sampai tingkat kecamatan. Dalam waktu dekat, penetrasi waralaba ini akan merambah pedesaan. Waralaba Indomart yang hanya berjumlah 704 gerai pada 2002 dalam jangka waktu empat tahun menggurita menjadi 1880 cabang. Alfamart yang semula 175 melonjak tajam dalam lima tahun menjadi 1918 unit.
Daya keruk keuntungannya pun luar biasa, dalam setahun bisnis minimarket ini mengantongi laba Rp 9,1 triliun. Praktis, tanpa perlawanan berarti dari warung kecil, toko kelontong, dan PKL milik para pemodal berkantong tipis akan segera bertumbangan. Perlu regulasi berupa peraturan daerah yang berpihak pada usaha mikro dan kecil untuk terhindar dari jerat gurita bisnis ritel modern.
Ketiga, sebagai kabupaten yang tidak diberkahi kekayaan sumber daya alam melimpah dan aset pemerintahan yang tidak banyak membantu perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka jalan pintasnya adalah menumpuk local revenue atau PAD dengan cara mengeksploitasi sektor ekonomi. Alternatif paling gampang adalah menggenjot sektor pajak dan retribusi yang bisa dipungut dari sektor perdagangan. Dengan dalih intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah dilakukan berbagai upaya perluasan basis pajak yang tentunya akan menambah beban masyarakat.
Secara kasat mata, ini dapat dibaca pada nota keuangan RAPBD Lamongan tahun anggaran 2010. Ketika target PAD secara keseluruhan mengalami penurunan sebesar 15,45 persen, hanya sektor pajak daerah yang mengalami kenaikan sebesar 6,67 persen. Penerimaan dari pajak daerah ditargetkan mencapai sebesar Rp. 16,2 miliar dari total PAD Rp. 94 miliar. Sedangkan retribusi juga menyumbang hampir Rp. 12 miliar untuk PAD.
Gurita profitopolis adalah ancaman serius bagi daerah yang sedang bersemangat membangun dan melakukan eksploitasi yang berlebihan. Jangan sampai jebakan ini mendorong Kabupaten Lamongan terperosok ke dalam jurang trade off economics. Suatu kondisi dimana libido penguasa menjadi tak terbendung untuk mengundang investor dengan harapan mendapat keuntungan. Padahal malah merugi karena kehilangan kesempatan memaksimalkan potensi lainnya. Perlu langkah antisipasi dan mawas diri oleh penentu kebijakan dalam mengantisipasi ancaman ini, serta sebuah pekerjaan rumah bagi para kandidat dalam Pemilukada Lamongan 2010 untuk dirumuskan menjadi visi dan misi lima tahun ke depan.
*) Penulis adalah Koordinator Advokasi Kebijakan Publik di PRAKARSA Lamongan


Tidak ada komentar: