Entri Populer

Kamis, 24 Maret 2011

Balung Kere Dilarang Sekolah

Oleh: Adi Faridh*)
Pendidikan dalam maknanya yang hakiki diyakini sebagai lkhtiar untuk mengentas rakyat dari perangkap kemiskinan. Karenanya, jalan utama yang ditempuh untuk mengurangi angka kemiskinan adalah dengan memperlancar akses pendidikan bagi rakyat miskin.
Sekalipun secara konseptual disebutkan oleh tokoh peraih Nobel Amartya Seen bahwa pendidikan adalah batu loncatan (steeping stones) untuk mengentas kemiskinan, tetapi dalam realitasnya pendidikan dan kemiskinan ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Teramat dekat tetapi keduanya tidak pernah saling bertegur sapa.
Dalam tradisi Jawa dikenal istilah balung kere, sebuah kalimat yang merujuk pada definisi jika terlanjur miskin maka dapat dipastikan akan sulit keluar dari jeratan kemiskinan yang akut kendati sudah ada usaha untuk memutus lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) dengan bersekolah. Bahkan melekat pada nasab balung kere ini kutukan kemiskinan dan keterbelakangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dan, konsepsi Amartya Seen akan menemukan negasinya apabila pada bulan Juli ini kita singgah ke Lamongan. Ketika musim berburu sekolah dimulai, dan mengenyam pendidikan di sekolah favorit menjadi incaran, nasib si balung kere yang berprestasi sekalipun menjadi terabaikan. Sistem persekolahan telah memaksa setiap siswa yang masuk di dalamnya untuk terjerat dalam suatu kompleksitas gurita bisnis pendidikan. Maka si balung kere pun dilarang sekolah karena ketiadaan biaya.
Label dagang pendidikan yang saat ini sedang laku keras sebagai alat reproduksi kesenjangan sosial antara si kaya dengan si balung kere adalah SBI. Program rintisan sekolah berstandar internasional yang memunculkan biaya sekolah tinggi dan praktik kapitalisasi pendidikan. Sehingga pendidikan yang sejatinya menjadi hak semua warga negara tanpa mengenal kelas, telah tergiring pada praktik jual beli bangku sekolah.
Program kelas rintisan sekolah berstandar internasional SMAN 1 Lamongan adalah salah satu contoh yang rawan memunculkan gurita bisnis dan biaya sekolah tinggi. Dilaporkan bahwa setiap calon siswa dikenakan tarikan minimal Rp 3 juta. Menurut seorang wali murid yang anaknya diterima di kelas RSBI tersebut, para orang tua diberi blanko kesanggupan untuk membayar uang sekolah yang sudah ditentukan nominal uangnya, yakni Rp 3 juta, Rp 4 juta, Rp 5 juta, dan seterusnya maksimal Rp 10 juta dengan dalih uang tersebut untuk merenovasi gedung dan pembelian berbagai perlengkapan.
Program RSBI di SMAN 2 Lamongan biayanya lebih mahal lagi, minimal Rp 4 juta dan tidak ada batas maksimal sehingga wali murid bisa membayar berapapun pokoknya di atas Rp 4 juta (Radar Bojonegoro, 4/7/2009).
Kapitalisasi Pendidikan
Permasalahan mendasar dari semua itu adalah terjadinya praktik kapitalisasi pendidikan. Dengan memakai logika siapa yang berduit akan mengenyam sekolah elite kaya fasilitas dan mereka yang miskin terpuruk dalam sekolah-sekolah yang mengenaskan. Sekolah pinggiran yang kerap diremehkan oleh banyak kalangan termasuk pemerintah yang abai mengucurkan dana bantuan. Pendidikan model beginian hanya akan melebarkan jurang pemisah antara mereka yang kaya dan yang miskin.
Kapitalisasi pendidikan menjadi sisi gelap dunia persekolahan. Nilai pendidikan dibenturkan pada kepentingan mengais rezeki dengan memperdagangkan bangku sekolah. Hal ini merupakan perilaku murahan yang mencederai etika pendidikan.
Terjadinya kapitalisasi pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah yang secara lambat laun mulai lepas tangan karena jaminan UU BHP. Sejatinya memang pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa sebagaimana dalam iklan sekolah gratis dan sekolah harus bisa. Maka apabila pemerintah mulai undur diri, beberapa lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri mulai memakai logika pasar dalam mengelola pendidikan.
Dalam konteks ini, benarkah siswa miskin masih diingat oleh pemerintah sebagai bagian dari warga negara yang mempunyai hak memperoleh pendidikan layak dan berkualitas (right for education)? Sungguh-sungguhkah pemerintah mewujudkan program penuntasan wajib belajar 12 tahun di Jawa Timur?
Sekedar pengingat, janji pemerintah tertuang dalam pasal 31 amandemen UUD 1945 Ayat (1) yang menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".
Komitmen pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003, antara lain disebutkan: Pertama, termuat dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kedua, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 Ayat (1)). Ketiga, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat (1)). Keempat, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat (1)). Dan, kelima, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat (2).
Tampaknya, janji pemerintah hendak memeratakan hak pendidikan, membebaskan biaya pendidikan bagi siswa miskin, atau memberi banyak kemudahan bagi siswa miskin dalam melanjutkan sekolahnya, tidak terwujud dalam realitas. Bahkan apa yang dijanjikan itu justru dijegal sendiri melalui kebijakan lain yang jauh dari watak humanistik atau memanusiakan siswa miskin.
Berlindung pada UU No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, Pemerintah dan/atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, maka RSBI dilegalkan. Parahnya, dengan fasilitas seadanya dan sumber daya manusia yang belum memenuhi kualifikasi, RSBI justru sulit meningkatkan mutu layanan pendidikannya. Yang terjadi adalah kekurangan fasilitas ini menjadi alasan bagi sekolah untuk mengeruk uang dari siswa.
SBI Pepesan Kosong
Menyikapi realitas itu, Menurut Nadlifah Hafidz (dalam Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI, 2009) komunitas miskin tidaklah selayaknya memaksakan memburu RSBI. Alasannya karena pertama, daripada mengeluarkan biaya yang tergolong sangat besar untuk ukuran orang miskin, lebih baik uang yang dimiliki digunakan untuk mendukung atau menopang kepentingan lainnya.
Realitas tersebut diperparah menurunnya anggaran untuk bantuan siswa miskin. Meski porsi anggaran pendidikan sudah 20 persen dari APBN, tidak otomatis mendongkrak bantuan untuk siswa miskin jenjang SMA. Sebaliknya, tahun ini, anggaran bagi siswa miskin justru anjlok. Subsidi pemerintah melalui bantuan khusus murid (BKM) turun menjadi Rp 194 miliar. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mengalokasikan dana rata-rata Rp 242 miliar.
Bandingkan dengan asupan biaya yang digelontorkan oleh pemerintah terhadap SBI sebagai proyek prestisius karena akan dibiayai dengan formulasi Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Membaca nota keuangan Rancangan perubahan terbaru APBD 2009 Kabupaten Lamongan terjadi perubahan kebijakan anggaran di bidang pendidikan untuk mengucurkan dana bagi penyelenggaraan SBI di SMAN 1 Lamongan.
Kedua, memaksakan anak masuk ke RSBI, bagi orang miskin, ibarat menciptakan dunia baru yang tentu saja berbeda dari dunia anak-anak dari kalangan miskin. Mereka bisa bertemu berbagai bentuk gaya, penampilan, atau pola hidup yang berkemasan menonjolkan selebritas kaum borjuis. Kondisi ini dapat menjadi siksaan atau pressure psikologis tersendiri.
Ketiga, RSBI merupakan produk sekolah bersifat eksperimen yang tentu saja tidak selayaknya orang miskin taklid terhadap apa yang dilakukan komunitas elite. Namanya juga produk coba-coba, kelayakan kualitas output-nya, khususnya proses pembelajarannya, mau ke mana dan dikemanakan lulusannya, masih menjadi tanda tanya besar.
Jangan-jangan SBI ini ibarat pepesan kosong yang hanya menjual asap tanpa isi, program latah tanpa asa. Atas dasar itu, si balung kere bertanya: ke mana arah pembangunan pendidikan Lamongan berkiblat? Tak bisakah pemerintah membuat kebijakan yang memang memperhatikan kepentingan pendidikan untuk semua?

*) Penulis adalah Koordinator Advokasi Pendidikan di Prakarsa Lamongan

Tidak ada komentar: