Entri Populer

Kamis, 24 Maret 2011

Mendidik Masyarakat Siaga Bencana


Oleh: Adi Faridh, M.Pd*)

Bencana alam yang terus mengancam semakin terasa akrab menelikung tiap jengkal wilayah Indonesia. Sejak gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 yang merenggut 130 ribu korban jiwa, disusul gempa Yogyakarta dan tsunami di Pangandaran Jawa Barat, potensi ancaman tumbukan kulit bumi, baik jumlah maupun kualitasnya terus meningkat.
Rentetan kejadian ini tidak terlepas dari kondisi geologi dan geomorfologi Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi karena terapung di atas benua yang menari. Letak geografis yang dikodratkan berada di cincin api pasifik dan dikepung oleh Lempeng Eurasia serta Lempeng Indo-Australia yang bergerak aktif menyebabkan 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana. Ditambah lagi 98 persen dari 220 juta jiwa penduduk berada dalam taraf tidak siap menghadapi bencana.
Telah terbukti, ketidaksiapan menghadapi bencana ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda yang sangat besar setiap kali terjadi bencana. Gempa terakhir yang memporak porandakan Padang Sumatera Barat pada Rabu sore 30 September lalu juga mencatatkan jumlah korban yang terus bertambah. Kekuatan gempa 7,6 skala Richter ini, menurut data yang dirilis Satkorlak dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merenggut 784 korban jiwa serta 242 orang dinyatakan hilang.
Di tengah kepanikan dan krisis akibat gempa di Padang datang juga rentetan guncangan yang lain, yaitu isu seputar gempa. Kabar akan adanya gempa di berbagai tempat di wilayah Jawa Timur tersebar begitu cepat. Dalam tempo singkat akumulasi isu ini termakan juga oleh segenap lapisan masyarakat. Di Sidoarjo beberapa sekolah terpaksa memulangkan siswanya lebih awal begitu tersiar kabar akan terjadi gempa dengan kekuatan 8,8 skala Richter. Di Malang, Kediri, dan Banyuwangi juga dilingkupi kecemasan (Jawa Pos 9/10). Bahkan di Bojonegoro, wilayah yang tidak tercantum dalam daerah rawan gempa sekalipun masyarakatnya tidur di luar rumah gara-gara termakan isu takut adanya gempa bumi (Radar Bojonegoro,8/10).
Meredam Isu Gempa di Jawa Timur
Sebagai sebuah kewaspadaan isu seputar gempa memang wajar keberadaannya disikapi sebagai upaya kesiapsiagaan. Tetapi akan menjadi tidak wajar apabila masyarakat dengan mudahnya ikut hanyut dalam keterpengaruhan yang membabi buta. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah berinisiatif memberikan pemahaman dan sosialisasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Langkah awalnya adalah mengenalkan kepada masyarakat melalui instansi terkait tentang definisi gempa dan deskripsi peta wilayah rawan gempa.
Dalam lingkup lokal Jawa Timur masyarakat juga memerlukan pemahaman akankah di wilayahnya juga akan dilanda gempa? Bila memang gempa akan merembet ke Jawa Timur, kapan gempa itu akan terjadi?
Berdasarkan analisis data Badan Meteorologi dan Geofisika, Provinsi Jawa Timur memiliki sekurangnya delapan daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Daerah itu meliputi Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Daerah ini notabene sebagai wilayah sepanjang pantai selatan Jawa Timur yang merupakan rangkaian dari zone subduksi. Zone subduksi adalah daerah pertemuan tabrakan antar lempeng yaitu antara Lempeng Indo-Australia yang bergerak 12 cm per tahun menyusup ke arah utara dan Lempeng Eurasia yang juga bergerak ke selatan menantang Indo-Australia.
Daerah pertemuan antar lempeng inilah yang dikenal rawan berpotensi gempa dan tsunami. Yang menjadi permasalahan utamanya adalah sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat memprediksi kapan akan terjadi gempa bumi apalagi sampai menentukan hari H nya. Dengan bekal lmu pengetahuan tentang gempa bumi ini, jelas bahwa tidak perlu dipercayai munculnya isu gempa dan tsunami akan terjadi pada hari dan waktu tertentu. Karenanya, mendidik masyarakat untuk siaga bencana adalah langkah yang tidak bisa ditawar lagi. Baik itu siaga dalam tahap prabencana, pada saat tanggap darurat dan pascabencana.



Kurikulum Bencana di Sekolah
Sebagai wilayah yang rawan bencana alam kebumian, sudah seharusnya bila Indonesia memiliki manajemen mitigasi bencana alam yang andal dan terpadu. Hal ini sangat berpengaruh dalam upaya memperkecil dampak bencana yang dapat ditimbulkan. Program mitigasi yang terpadu meliputi pengembangan sistem pemantauan, pengembangan sistem peringatan dini (early warning system), pembuatan peta-peta informasi bencana, public education, dan adanya undang-undang yang menyangkut perencanaan wilayah.
Dalam wacana ilmu Dissaster Preparedness atau Manajemen Bencana Alam sudah semestinya masyarakat kita dibekali dengan pengetahuan tentang bahaya-bahaya bencana alam. Prosedur operasional standar (SOP) bagi setiap masyarakat saat menghadapi gempa diperkenalkan di sekolah-sekolah maupun komunitas yang lebih luas. Pola penanganan bencana alam dapat juga dilakukan dengan memberikan pendidikan atau simulasi mitigasi pada masyarakat yang berada di daerah rawan bencana. Selanjutnya diwujudkan upaya mitigasi secara terstruktur dan matang dengan dukungan pemanfaatan iptek dan political will dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
Wacana yang berkembang adalah memasukkan materi gempa dan bencana alam lainnya dalam kurikulum sekolah. Upaya ini diyakini efektif mengingat fungsi dan peran sekolah yang tidak hanya sebagai transfer pengetahuan tetapi juga internalisasi nilai. Apalagi upaya ini dijamin oleh UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menggagas sistem penanggulangan bencana yang sistematis dan terstruktur. Pada momentum inilah mendesakkan materi bencana dimasukkan dalam kurikulum sekolah menjadi urgen.
Dengan memasukkan pengetahuan tentang bencana ke dalam kurikulum sekolah yang didukung pula dengan simulasi menghadapi bencana merupakan upaya preventif yang didesain sejak dini. Ikhtiar ini diyakini kelak akan melahirkan generasi yang sadar akan risiko bencana. Kurikulum bencana di sekolah adalah investasi jangka panjang yang akan melahirkan pemikir dan pembuat kebijakan masa depan yang adaptif terhadap bencana dengan meminimalkan dampak destruktifnya.
Inspirasi Angel of Beach
Seharusnya pengambil kebijakan pendidikan terinspirasi tentang keberhasilan materi bencana masuk kurikulum sekolah melalui kisah nyata Angel of beach. Dikisahkan pada saat gempa dan tsunami Thailand, Pantai Phuket sedang dipenuhi wisatawan. Tiba-tiba seorang gadis kecil berumur 10 tahun bernama Tilly Smith mengatakan kepada ayahnya bahwa sebentar lagi akan terjadi tsunami berdasarkan gejala yang dilihatnya di kejauhan lautan. Rupanya siswi SD asal Inggris itu mengingat betul materi pelajaran geografi tentang lempeng tektonik dan gempa bawah laut yang diajarkan oleh Andrew F Kearney, guru geografinya. Begitu Ia melihat gejala tsunami berupa gelombang tinggi yang memutih dan air di pantai menjadi surut tiba-tiba, selanjutnya dalam hitungan 20 atau 30 menit pasti akan terjadi tsunami.
Oleh sang Ayah, apa yang dikatakan oleh Tilly itu disampaikan kepada penjaga pantai yang segera memberikan peringatan dini kepada para wisatawan untuk bergegas meninggalkan pantai. Apa yang dikatakan Tilly menjadi kenyataan, tsunami menghantam Pantai Phuket. Beruntung ratusan wisatawan telah dievakuasi sehingga korban jiwa terhindari. Angel of Beach adalah gelar yang disematkan kepada Tilly, siswi SD 10 tahun yang berhasil menginternalisasi pengetahuan yang didapat dari bangku sekolah. Sebuah pendekatan pembelajaran kontekstual yang menghadirkan pemahaman konsep akademik yang realistik dan bermakna.
Bandingkan dengan kisah nyata di negeri ini ketika gempa dan tsunami 26 Desember 2004 di Pantai Ulele Aceh. Pada saat gejala tsunami muncul berupa surutnya pantai, masyarakat bukannya berlari menyelamatkan diri, mereka malah berlomba-lomba menangkap ikan di sepanjang pantai yang surut. Ketidaktahuan masyarakat dan kelalaian Negara melaksanakan amanat melindungi warganya mengakibatkan jiwa mereka sia-sia tertelan gelombang pasang.
Inspirasi dua kisah nyata di atas seharusnya menyadarkan betapa sudah saatnya digagas dan dibangun sikap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana sebagai bagian dari memotong siklus bencana. Karena dari kesiapsiagaannya termasuk melalui penanaman sadar bencana melalui pelajaran di sekolah, dengan sendirinya masyarakat terbina dan akan membentuk masyarakat sadar bencana. Dengan terbangunnya masyarakat siaga bencana diharapkan jumlah korban dan kerugian sosial ekonomi akan semakin berkurang.

*) Penulis adalah Alumni Geografi UNM, Koordinator Advokasi Kebijakan di Prakarsa Nusantara Consultant Lamongan

Tidak ada komentar: