Entri Populer

Sabtu, 29 November 2008

Memahami Geliat Bengawan Solo

Oleh Adi Faridh, M.Pd*
Sosok Indonesia hari ini adalah wajah ibu pertiwi yang kusut masai berlinang air mata oleh deraan musibah dan bencana yang menghantam bertubi. Tidak tampak lagi bumi pertiwi yang dilukiskan sebagai negeri impian oleh karena kekayaan alam dan kesuburan yang akan menjadi tamsil kemakmuran anak bangsa. Untaian zamrud khatulistiwa bak mutu manikam kini hanya tinggal jargon belaka terbungkam oleh penderitaan yang tak kunjung usai.
Indonesia yang terbentang sepanjang 5500 Km membujur dari Sabang sampai Merauke dengan luas hampir 2 juta Km2 adalah negara kepulauan terbesar dengan jumlah 17.504 pulau. Dampak dari letak geografis ini adalah keanekaragaman hayati dan kekayaan alam berupa sumber daya energi dan mineral yang berlimpah. Sungguh suatu anugerah dan rahmat tak terhingga dari Tuhan Yang Maha Esa bagi 225 juta warganya.
Namun kekeliruan kita adalah begitu mudah terlena dan terninabobokan oleh limpahan kekayaan alam sehingga kerap memperlakukannya sebagai warisan nenek moyang yang harus dibabat habis. Maka kita menjadi lalai, bahwa sesungguhnya sumber daya alam itu adalah titipan dari anak cucu yang semesti-nya kita pertahankan kelestariannya. Maka bencana alam yang tak kunjung usai adalah konsekuensi logis sebagai ongkos kepandiran kita.
Episode terbaru buah dari kealpaan yang kini mengharu biru adalah luapan Bengawan Solo yang menenggelamkan sepanjang daerah aliran sungainya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banjir bandang sejak penghujung Desember 2007 itu menggerus mulai dari hulu Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan sampai Gresik di bagian hilir.
Bengawan Solo yang biasanya kalem layaknya putri solo pada awal musim penghujan ini meluluhlantakkan permukiman penduduk, lahan pertanian, fasilitas umum, fasilitas sosial dan pendidikan hingga industri. Tercatat di bumi Angling Darma Bojonegoro 149 desa di 15 kecamatan terendam bajir dengan taksiran kerugian mencapai 100 milyar. Amuk Bengawan Solo di Lamongan juga menenggelamkan 37 desa di 6 kecamatan. Kondisi serupa juga melanda 50 desa di 5 kecamatan wilayah Tuban dan 49 desa di 4 kecamatan Kabupaten Gresik. Sebelumnya sejarah mencatat sejak tahun 1863 setidaknya telah terjadi sepuluh kali banjir besar di Bengawan Solo.
Selama ini, Bengawan Solo yang memiliki panjang 548,53 Km dikenal sebagai sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa menjadi urat nadi kehidupan bagi puluhan juta masyarakat di sekitarnya. Bengawan Solo adalah sumber kehidupan yang menopang irigasi pertanian, perikanan, penambangan pasir, transportasi, industri, dan bahan baku air minum. Bahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur menjadikan DAS Bengawan Solo sebagai sumber potensial air baku.
Maka, pemandangan yang terlihat sepanjang hulu sampai hilir adalah pemanfaatan sumber alam Bengawan Solo tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya. Di bantaran dan tebing sungai, nyaris tak ada sejengkal lahan pun yang luput dari perambahan dan aktivitas pertanian. Perilaku yang demikian tanpa disadari menjadi penyumbang bagi penggemburan tanah di tebing sungai yang semakin memudahkan tergerus arus. Pohon tanaman keras yang dapat menahan tanah sekaligus menjaga areal tangkapan air tanah sudah lama terjarah.
Hasil ekspedisi menyusuri Bengawan Solo oleh sebuah tim dari media massa nasional Juni 2007 lalu mengidentifikasi beberapa masalah yang menggerogoti Bengawan Solo. Pertama, erosi yang terjadi sejak hulu hingga hilir oleh karena kurangnya penutupan tanaman keras dan sistem terasering yang salah. Kedua, sedimentasi yang parah di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri sebagai akibat erosi tebing.
Masalah ketiga adalah maraknya berbagai penambangan pasir yang menyisakan lubang-lubang besar di dalam sungai menyebabkan ketidakstabilan tebing yang memperparah longsoran. Ketiga masalah di atas akan menjadi pemantik bagi masalah keempat yaitu banjir di lembah Bengawan Solo seperti sekarang ini. Walaupun sudah ada sistem pengendalian banjir seperti Waduk Gajah Mungkur, Bendungan Colo, dan Bendungan gerak Babat tetapi karena masih ditambah masalah kelima yaitu sungai menjadi tempat sampah raksasa dan pencemaran maka banjir tak terelakkan.
Kondisi di atas adalah pemicu bagi bencana banjir yang selalu berulang tanpa adanya upaya menekan dan mengurangi dampak bencana (mitigasi) secara terencana dan komprehensif. Pada fase ini Bengawan solo adalah contoh nyata ironi bagaimana manusia Indonesia memperlakukan sumber kehidupan utamanya. Pada satu sisi Bengawan Solo sangat vital dibutuhkan tetapi pada saat yang bersaman dengan mudah mereka merusaknya untuk kemudian mengundang bencana banjir.
Karena sudah terlanjur masuk dalam perangkap bencana banjir, yang harus dilakukan pemerintah adalah membudayakan masyarakat siap bencana melalui aspek edukasi. Informasi mengenai kawasan rentan dan rawan banjir harus tersedia akurat dan dapat dijangkau oleh masyarakat dalam waktu yang tepat sebelum banjir menyapa mereka. Ketersediaan peta zone merah bencana banjir diaktualkan tidak hanya berupa peta skala kabupaten tetapi sudah saatnya pelosok desa sekalipun tertera dalam simbol peta. Bukan saatnya lagi masyarakat tidak menyadari bahwa daerah tinggalnya rawan bencana karena informasi peta tidak mencantumkan wilayahnya.
Langkah kedepannya adalah mendesakkan rekomendasi penyelamatan Bengawan Solo yang terdiri dari: pertama, perlu upaya penyadaran penduduk akan pentingnya menjaga kualitas lingkungan DAS bagian hulu dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan Bengawan Solo. Misalnya upaya preventif meminta masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan pertanian di tepi sungai hingga jarak 50 – 100 meter yang masuk dalam kawasan sabuk hijau.
Sinergi bijak pemerintah dan masyarakat dapat dijadikan langkah kedua dengan menggugah mereka melakukan penghijauan dengan menanam untuk tujuan konservasi yang hasilnya dinikmati masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Langkah nyata lainnya adalah pengawasan dan pemantauan terhadap penambangann pasir dan batu serta elevasi dasar sungai. Untuk pengelolaannya dapat diintensifkan terasering. Demikian pokok-pokok rekomendasi yang pernah disampaikan koordinator ekologi ekspedisi Bengawan Solo dari UNS, Retno Rosariastuti.
Setelah bencana tak kunjung habis mendera sudah saatnya langkah konkret direkonstruksi dengan beranjak dari kesadaran bahwa manusia dalam relasinya dengan alam bukan lagi antroposentrisme tetapi biosentrisme. Artinya manusia bukan lagi sebagai pusat penguasa alam yang bisa melakukan apa saja terhadap komponen alam lainnya, tetapi etika lingkungan menggariskan manusia sebagai bagian dari alam eksistensinya tergantung dari komponen alam lainnya. Karenanya, manusia tidak bisa berperilaku sekehendak hati tanpa menakar dampaknya.
Merefleksi Bengawan Solo kurang lengkap rasanya bila tidak meminjam lirik langgam gubahan komponis Gesang berikut ini:
Bengawan Solo, riwayatmu ini;
Sedari dulu jadi perhatian insani;
Musim kemarau, tak seberapa airmu;
Di musim hujan, air meluap sampai jauh...
Mohon maaf dengan segala hormat kepada pengarangnya, sesuai dengan konteks kekinian pada bagian reffreinnya mungkin lirik yang tepat adalah:
Air matamu dari Solo;
Bercampur sampah seribu;
Air menggenang sampai jauh;
Akhirnya banjir juga.

* Adi Faridh, M.Pd adalah alumni Geografi Universitas Negeri Malang, Staf Ahli LSM Prakarsa Lamongan

Tidak ada komentar: